Jumat, 08 Mei 2015

Keyakinan pada Panca Srada:
1.1. Widhi Tattwa
Agama Pramana: Percaya pada Hyang Widhi karena mempelajari kitab-kitab suci.
Pratiyaksa Pramana: Percaya pada Hyang Widhi karena mendapat vibrasi kesucian sebagai hasil ketekunan meditasi.
Anumana Pramana: Percaya pada Hyang Widhi dari kesimpulan berdasarkan logika, unsur-unsur aktivitas, sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan dan keteraturan.
Upamana Pramana: Percaya pada Hyang Widhi dari analogi berdasarkan perbandingan unsur-unsur metafora (penciptaan), struktural (bahan ciptaan) dan kausal (akibat dari suatu sebab).
1.2. Atma Tattwa
Percaya bahwa Atman identik dengan Brahman, karena itu ada empat jalan menuju kepada-Nya, yaitu:
 Bhakti Marga:
Menyembah, memuja, menghormati dan menyayangi Hyang Widhi dengan segala ciptaan-Nya.
 Karma Marga:
Bekerja, berbuat mencapai tujuan hidup dilandasi ajaran Veda.
 Jnana Marga:
Belajar dan mengajar mengembangkan Ilmu Pengetahuan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
 Yoga Marga:
Olah badan dan pikiran untuk menghubungkan Atma dengan Paramaatma.
1.3. Purnabhawa
Percaya bahwa Atman akan terus mengalami samsara (reinkarnasi) bilamana belum memenuhi syarat kesucian untuk bersatu dengan Brahman; karena itu ada beberapa upaya untuk selalu menjaga kesucian:
 Sistacara:
Kehidupan suci yang membentuk susila.
 Atmanastusti:
Bekerja, berbuat mencapai tujuan hidup dilandasi ajaran Veda.
 Catur Ashrama:
Empat jenjang kehidupan: Brahmacari, Gryahasta, Wanaprastha, dan Biksuka.
1.4. Karmaphala
Percaya bahwa perbuatan yang baik akan membuahkan kebaikan, sedangkan perbuatan yang jahat akan menuai keburukan; karena itu tetaplah berpegang pada Trikaya Parisudha (tiga kesucian/ kebaikan):
 Kayika Parisudha: Perbuatan yang baik yang terdiri dari Ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti), Tan Mamandung (tidak mencuri/ korupsi), Tan Paradara (tidak berzina).
 Wacika Parisudha: Perkataan yang baik terdiri dari Tan ujar apregas (tidak berkata kasar/ memaki), Tan ujar ahala (tidak berkata bohong/ membual), Tan ujar pisuna (tidak memfitnah), Satya wacana (berkata jujur/ menepati janji).
 Manacika Parisudha: Pikiran yang baik terdiri dari Tan Adengkya ri drwyaning len (tidak dengki pada kepunyaan orang lain), Mamituhwa ri hananing karmaphala (percaya pada hukum karma-phala), Masih ring sarwa satwa (sayang kepada semua mahluk ciptaan Hyang Widhi).
1.5. Moksha
Percaya akan terjadinya kemanunggalan Atman dengan Brahman (Hyang Widhi) apabila kesucian Atman sudah setara dengan kesucian Brahman, melalui Catur Purushaartha:
 Dharma: Ajaran Agama sebagai landasan segala aspek kehidupan.
 Artha: Wara nugraha Hyang Widhi berupa benda-benda materi.
 Kama: Kemampuan mencukupi kebutuhan hidup.
 Moksha: Tercapainya kesejahteraan lahir-bathin sebagai tahapan menuju kemanunggalan Atman-Brahman.
2. Tiga Kerangka Agama Hindu Dipandang Sebagai Satu Kesatuan, Dalam Artian Adanya Saling Keterkaitan Aspek-Aspek Yang Bertujuan Membentuk Kesempurnaan.
2.1. Tattwa
Pemahaman inti ajaran Veda.
2.2. Susila
Perilaku baik, yang terbentuk dari pemahaman Tattwa, meliputi antara lain:
 Sadacara
Taat pada peraturan, norma, atau perundang-undangan yang berlaku.
 Sad Tatayi
Menghindari dosa karena: Agnida (membakar), Wisada (meracun), Atharwa (menggunakan ilmu hitam), Sastraghna (mengamuk), Dratikrama (memperkosa), Rajapisuna (memfitnah).
 Sad Ripu: Waspada adanya enam musuh dalam diri sendiri: Kama (nafsu), Lobha (serakah), Kroda (marah), Mada (mabuk), Moha (sombong), Matsarya (cemburu, dengki, irihati).
 Asada Brata: Dharma (yakin pada hakekat kebenaran), Satya (setia pada nusa-bangsa-negara), Tapa (mengendalikan diri), Dama (tenang dan sabar), Wimatsarira (tidak dengki, iri, serakah), Hrih (punya rasa malu), Titiksa (tidak gusar), Anusuya (tidak bertabiat jahat), Yadnya (rela berkorban), Dana (dermawan), Dhrti (menjaga kesucian), dan Ksama (suka memaafkan).
 Dasa Indria: Kemampuan mengendalikan indria: Srotendria (pendengaran), Twakindria (rabaan kulit), Granendria (penciuman), Caksundria (penglihatan), Wakindria (lidah), Panindria (gerakan tangan), Payundria (membuang kotoran), Jihwendria (gerakan kaki), Pastendria (alat kelamin).
 Yama Brata: Anrsamsa (tidak egois), Ksama (pemaaf), Satya (setia), Ahimsa (tidak menyakiti hati), Dama (sabar), Arjawa (tulus-ikhlas), Pritih (welas asih), Prasada (tidak berpikir buruk), Madhurya (bermuka manis secara tulus), Mardawa (tutur kata yang lemah lembut).
 Niyama Brata: Dana (dermawan), Ijya (rajin sembahyang), Tapa (mengendalikan diri), Dhyana (menyadari kebesaran Hyang Widhi), Swadhiyaya (rajin belajar), Upasthanigraha (menjaga kesucian hubungan sex), Brata (mengekang nafsu), Upawasa (berpuasa), Mona (mengendalikan kata-kata), Snana (menjaga kesucian dan kebersihan diri).
2.3. Upacara
Ritual yang dilakukan untuk menguatkan Tattwa dan Susila sebagai pengembangan nalar manusia dalam menjalin hubungan dengan Hyang Widhi yang berdampak pada kesehatan spiritual dan emosional.

1
ESTETIKA SIMBOL UPAKARA “OMKARA”
DALAM BENTUK KEWANGEN
Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau
upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias
pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna
dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Sengaja atau tidak,
disadari atau tidak yang jelas kehadiran upakara dalam ritual Hindu di Bali tampak
indah atau mengandung estetika.
Upakara ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara.
Baik dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan
rumit. Sebagai contoh dalam pelakasanaan upacara keagamaan atau dalam
persembahyangan diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina,
canang sari, dan sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”.
Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara
simbol “Omkāra” (ý) (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” (ý) adalah huruf suci,
singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa
“kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum.
Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta
senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan.
Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena
memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya
“kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan
harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah
indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan.
Berdasarkan paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengungkapkan
estetika “Omkāra” dalam bentuk “kewangen”, yaitu bagaimana bentuk estetika
“kewangen”?, unsur-unsur apa yang membentuk estetika “kewangen”?, dan
bagaimana hubungan bentuk, estetika dan fungsi “kewangen” dalam
persembahyangan?
Bentuk Kewangen
Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki
ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti
bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang,
pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum
yang ditusuk dengan biting. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan
sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen,
bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang
dilipat sehingga mudah ditancapkan. Adapun bentuk “kewangen” seperti yang
Nampak pada gambar berikut.

Estetika Kewangen
Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak,
pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat
karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam
kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya,
baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia
tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai
penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia.
Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai
rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai
penghalus rasa dalam kehidupannya.
Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk
”Kewangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika.
”Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam
persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ”
sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya
membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusuk dan nyaman sehingga
memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah
”kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana
senang, suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang.
1. Unsur-unsur keindahan Kewangen
Untuk mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang
mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya
keindahan (estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara
lain:

1) Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip,
bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan.
Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga
bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen
melambangkan “Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku
Tunggal” (3).
2) Pelawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa
dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun
sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran.
Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat
mendukung estetika “kewangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan,
ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih
simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur
ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4) Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan
bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur
ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian
kewangen dari rangkaian tuesan daun kelapa dibuat mengikuti unsur-unsur
keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta

penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan
menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperluka dalam upacara
keagamaan umat Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng
juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta
pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung
estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu
penyatuan Siwa Budha.
2. Komposisi keindahan Kewangen
Komposisi merupakan penataan unsur-unsur yang membentuk keindahan
suatu karya. Komposisi keindahan “kewangen” adalah menata atau menyusun unsurunsur
dari “kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong kewangen,
pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga,
sehingga menjadi bentuk yang indah dan menarik.
1) Keseimbangan
Penataan unsur-unsur “kewangen” dengan memperhatikan keseimbangan antara
bagian kiri dan kanan dengan menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian
kiri dan kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna
yang sama. Hal ini dilakukan agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.
2) Kesatuan
Penataan unsur-unsur “kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur
yang satu menukung unsur yang lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas
atau terpisah antara bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini
perlu dilakukan agar pandangan orang terhadap “kewangen” terfokus pada
keutuhan bentuk “kewangen”.
3) Irama
Penataan unsur-unsur “kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan
keharmonisan bentuk “kewangen”. Penataan ini dapat dilakukan dengan
mengatur gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil ke
bentuk yang lebih besar dan kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang
terang ke warna yang lebih gelap dan kembali ke warna yang terang.
4) Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan dalam penataan unsur-unsur pembentuk
“kewangen” termasuk ketepatan penempatan posisi dari masing-masing bagianbagian
dari “kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian
belakang, pis bolong pada bagian depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur
kewangen yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk
“kewangen”.
3. Hubungan bentuk, esteika dan fungsi
Bentuk “kewangen” yang kecil dan mungil serta seolah-olah berbentuk
segitiga terbalik tentu telah memperhitungkan fungsi dari “kewangen” tersebut.
Fungsi yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kewangen”
dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubunubun.
Artinya “kewangen” nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah
dipegang, tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi.
Keserasian antara bentuk dan fungsi mutlak harus dikondisikan. Keindahan
suatu bentuk jangan sampai mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan
sampai menganggu bentuk. Kalau diperhatikan, pada bagian badan “kewangen”
yang merupakan kojong “kewangen” dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal ini
untuk memudahkan dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian
juga, keindahan bentuk jangan sampai tergganggu akibat salah menggunakan atau
memegang “kewangen”.
Keserasian bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin
saat memandangi estetika “kewangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan,
menyejukkan pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk
sembahyang dapat memberikan kekusukan dan kesucian bathin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa estetika “kewangen” nampak
pada bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas komposisi unsur-unsur
yang indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum.
Keindahan (estetika) kewangen memiliki keserasian bentuk dan fungsi sehingga
nyaman digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin.

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Traslate

Popular Posts

Our Facebook Page